
Fakultas Ushuluddin Adakan Seminar Semantika dan Semiotika untuk Al-Quran dan Hadis
Ushuluddin – Fakultas Ushuluddin Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) Annur Yogyakarta mengadakan seminar nasional tentang pendekatan semantika dan semiotika dalam studi Al-Quran dan Hadis pada Kamis (31/3).
Seperti disampaikan oleh perwakilan Dekan Fakultas Ushuluddin Arif Nuh Safri, kegiatan tersebut diinisiasi untuk memantik kreativitas mahasiswa dalam melakukan riset terhadap Al-Quran dan Hadis.
“Harapannya, dengan seminar ini, teman-teman mahasiswa, dan juga dosen bisa mendapatkan inspirasi untuk melakukan riset,” katanya dalam seminar yang diselenggarakan di audit utama IIQ Annur.
Dua (2) narasumber dihadirkan untuk berbagi ilmu dan pengetahuannya, yakni Dosen Fakultas Adab dan Ilmu Budaya (Fadib) UIN Sunan Kalijaga Mardjoko Idris dan Dosen Linguistik Ushuluddin IIQ Annur Nur Aini.
Mardjoko berdiskusi tentang penerapan semantika dan semiotika dalam Al-Quran.
Menurutnya, menggunakan keduanya untuk Al-Quran diperbolehkan, bahkan dianjurkan. Sebab tanpa itu, makna Al-Quran akan kering.
Kendati demikian, siapa pun perlu jeli dalam penggunaannya. “Menggunakan semantika dan semiotika untuk Al-Quran boleh, tapi harus ada penyesuaian-penyesuaian,” ungkapnya.
Alasannya, semantika dan semiotika adalah pendekatan yang lahir dari rahim Eropa dan Amerika.
Mereka ditelurkan oleh sarjana yang meneliti tentang masyarakatnya, puisi-puisi yang beredar di wilayahnya, dan sejarah bahasa dan pemikiran yang diterima oleh di lingkungannya.
Jadi, setiap pendekatan itu unik, memiliki karakter dan implikasinya yang khas, sehingga untuk menggunakannya pada aspek lain di luar budaya dan tradisi tempat ia muncul, maka hanya satu kata: penyesuaian.
Di waktu bersamaan, Mardjoko mengingatkan bahwa untuk konteks Al-Quran, tradisi Islam sudah memilikinya, yakni ilmu balagah.
Mardjoko menilai, semantika dan semiotika hanyalah lanjutan dari diskusi ilmu balagah. Mereka sama secara pola, yaitu untuk mencari makna kedua dari setiap “teks” yang ada.
Intinya, ia melanjutkan, ketika dalam tradisi Islam sudah disediakan dan itu sangat mumpuni, lantas mengapa seseorang harus meminjam pendekatan lain untuk Al-Quran.
Kendati begitu, Mardjoko tidak menolak untuk menggunakan pendekatan lain dalam studi Al-Quran selama penyesuaian di atas diperhatikan secara baik.
Warna-warna makna dalam Hadis
Ketika Mardjoko menggiring para peserta yang kebanyakan adalah mahasiswa Ilmu Al-Quran dan Tafsir (IAT) dan Ilmu Hadis (Ilha) untuk merenungkan beragam makna kedua dari ayat-ayat Al-Quran, maka Nur Aini berhasil membuat mereka terheran dengan fakta bahwa diskusi soal makna kedua sudah bisa ditemukan di banyak hadis.
Aini menyampaikan, siapa saja yang cermat dalam membaca hadis, ia akan menemukan bahwa tidak sedikit hadis mengoptimalkan bahasa majasi.
Ia memberi contoh hadis tentang tangan panjang. Siti Aisyah pernah meriwayatkan bahwa siapa pun yang panjang tangan, maka akan lekas berjumpa Nabi Muhammad ketika hari kiamat.
Menurut Aini, diksi panjang tangan di situ tidak bisa dipahami di makna pertamanya, tetapi harus masuk ke makna kedua.
Sebab jika tidak demikian, maka pemahamannya akan kurang masuk akal, seperti apakah ukuran lengan seseorang berhubungan dengan kualitas hidup.
“Kita harus jeli untuk memahami hadis panjang tangan. Yang dimaksud panjang tangan adalah mereka yang rajin sedekah dengan tangannya, bukan secara apa adanya, lengannya panjang,” jelasnya.
Antara penanda dan petanda
Dalam seminar yang dipandu oleh Muhammad Saifullah ini, keduanya juga menjelaskan penanda dan petanda dengan caranya masing-masing. Sebab roh dari semiotika adalah dua konsep tersebut.
Penanda merujuk pada aspek material dari sesuatu, sedangkan petanda aspek pikiran.
Kuda misalnya, sebagai penanda, yang dimaksud kuda di sini adalah hewan kuda, berkaki empat, dan menyusui. Ia bisa diraba, disentuh, bahkan ditunggangi.
Adapun sebagai petanda, kuda tersebut adalah konsep pikiran dari seseorang yang karena konsep, maka tidak bisa diraba.
Di level tertentu, Aini menerangkan, kuda sebagai petanda bisa sangat beragam tergantung pengalaman dan pengetahuan seseorang.
Ketika A bilang kuda pada B, belum tentu yang muncul di benak B adalah kuda seperti yang diinginkan A. Bisa saja B membayangkan bidak kuda atau malah kuda merek mobil.
Perlu diketahui, acara ini dihadiri oleh Kepala Prodi IAT Yuni Ma’rufah dan segenap jajaran dosen Ushuluddin. Peserta yang hadir berkisar antara 50 dan 60 orang, di luar peserta daring via Kanal Youtube IIQ Annur yang mencapai sekitar 148.