
LSIQH dan Dema Ushuluddin Adakan Seminar Al-Quran dan Kebudayaan
Ushuluddin – Lingkar Studi Ilmu Al-Quran dan Hadis (LSIQH) dan Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema) Fakultas Ushuluddin Institut Ilmu Al-Quran (IIQ) Annur Yogyakarta mengadakan seminar tentang Al-Quran dan Kebudayaan, Sabtu (29/1).
Seminar yang diselenggarakan di aula utama IIQ Annur ini merupakan puncak acara Gebyar Tafsir Hadis yang sudah berlangsung sejak 22 Januari 2022.
Menurut Ketua Panitia Yudi Sipriadi, diadakannya seminar ini bertujuan untuk memberikan pemahaman secara langsung kepada mahasiswa dan segenap peserta festival tentang bagaimana Al-Quran hidup dalam Budaya Jawa, khususnya Keraton Yogyakarta.
Disebut secara langsung sebab narasumbernya adalah Koordinator Kajian Kawedanan Pengulan Kraton Yogyakarta Amat Ruhullah dan dilengkapi oleh pengganti sementara Dekan Fakultas Ushuluddin IIQ Annur sekaligus Kepala Prodi (Kaprodi) Ilmu Al-Quran dan Tafsir (IAT) Yuni Ma’rufah.
“Dari segi pengalaman penjelasan langsung disampaikan dari keraton. Di waktu yang sama, ada ulasan teoretis dari Kaprodi IAT,” jelas Yudi.
Dalam diskusi yang dimoderatori oleh Muhammad Jamaluddin ini, Yuni sapaan akrabnya menegaskan bahwa Al-Quran adalah Kitab Suci rahmatan lil alamin dan mengandung nilai-nilai universal.
Meski demikian, universalitas Al-Quran tersebut, tegasnya, dipahami secara berbeda-beda oleh beragam kalangan.
Sebagian menangkapnya sebagai betapa Islam harus dipraktikkan sebagaimana tempat ia muncul: Arab.
Sebagian lainnya memahami bahwa nilai Islam tidak terbatas pada waktu dan ruang, sehingga bisa masuk ke budaya mana pun.
“Ada yg memahami bahwa Islam itu ya tradisi Arab itu, seperti mahasiswa yang menendang sesaji di Gunung Semeru kemarin itu. Ada juga yang sebaliknya,” papar Yuni.
Sementara itu, Amat Ruhullah mendiskusikan seputar keislaman di Keraton Yogyakarta.
Setidaknya ada dua (2) praktik yang masih lestari hingga saat ini di Keraton, ungkapnya: simakan Al-Quran dan simakan Kitab Sahih Bukhari atau Bukhoren.
“Yang Bukhoren itu kami ngundang sekitar 100 kiai pengasuh pesantren. Tema dan semacamnya para kiai yang menentukan,” jelas Amat.
Amat menjelaskan, ada dua (2) tahapan dalam tradisi Bukhoren di Keraton: membaca dari awal hingga akhir dengan sistem muqaddaman dan kemudian memahami isinya.
“Ya semacam muqaddaman hadis lah ya,” katanya dalam seminar yang disiarkan langsung melalui Youtube IIQ Annur Yogyakarta ini. (zv)